Minggu, 28 Oktober 2012

Sabtu, 27 Oktober 2012

PENGATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI LINGKUNGAN BUMN TERKAIT KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF STUFENBAU THEORY


PENGATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI LINGKUNGAN BUMN TERKAIT KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF STUFENBAU THEORY

Oleh :
Marisi Butar-Butar

Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan
2012

A. Pendahuluan
Pengaturan pengadaan barang dan jasa di lingkungan instansi pemerintah berlakulah Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Hal ini berbeda dengan pengaturan barang dan jasa di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada BUMN berlaku Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Kekhususan ini diberlakukan karena BUMN merupakan suatu bentuk badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.[1] Tetapi walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan apabila BUMN tersebut belum mempunyai pedomannya sendiri untuk melakukan pengadaan barang dan jasa, tunduk kepada Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.[2] Namun, sebaiknya untuk BUMN tunduk kepada Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara dikarenakan kekayaan BUMN adalah kekayaan negara yang dipisahkan.
Makna “kekayaan negara yang dipisahkan” merujuk pada pemaknaan bahwa BUMN adalah badan hukum mandiri yang pertanggungjawabannya dan kekayaannya terpisah dari pemiliknya (dalam hal ini Negara). Secara teoritis, salah satu karakteristik utama dari badan hukum adalah memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pemiliknya (Pemegang Saham). Hal ini sejalan dengan doktrin separate legal entity yang lazim dianut dalam hukum perseroan di Indonesia. Kekayaan badan hukum yang terpisah ini merupakan kekayaan mandiri dari badan hukum itu, dan bukan merupakan kekayaan pemiliknya. Kekayaan yang terpisah inilah merupakan jaminan dari seluruh perikatan yang dilakukan oleh badan hukum mandiri tersebut. Dalam perspektif ini, BUMN sebagai badan hukum, adalah legal entity yang berbeda dengan pemiliknya (Negara), pengurusannya tunduk pada prinsip-prinsip korporasi yang sehat, dijalankan oleh organ badan hukum itu sendiri, dan memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan Negara sebagai pemiliknya. Dengan karakteristik inilah memungkinkan BUMN dikelola secara fleksibel sebagai usaha yang mandiri.[3]
Terkait dengan The General System Theory yang dikemukakan oleh Ludwig von Bertalanffy dan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam Lord Lloyd of Hampstead mengenai struktur hukum yang sistematis dan hierarkis. Rasionalitas dari pernyataan ini adalah bahwa tidak mungkin ada satu peraturan hukum yang berdiri sendiri dalam suatu ruang hampa karena objek yang diaturnya juga tidak mungkin lepas dari pengaruh norma-norma hukum yang lain. Norma hukum ini harus saling bekerja sama dan saling menunjang dalam suatu sistem hukum menuju suatu titik tujuan bersama yakni berupa kesejahteraan seluruh anggota masyarakat. Norma hukum spesifik, yakni norma hukum moneter dan perbankan, harus sejalan dengan rangkaian norma hukum lainnya. Dengan kata lain, norma hukum spesifik tersebut haruslah ditetapkan agar norma tersebut saling menunjang norma hukum lainnya. Apabila terjadi pertentangan antara norma hukum, maka hakim wajib meluruskan antimoni ini sehingga hukum tetap dapat bekerja dalam suatu sistem. Itulah sebabnya pembahasan mengenai legal system menyatakan bahwa suatu proses konvergensi terjadi dalam keseluruhan hukum yang merupakan suatu sistem yang kompleks, namun teratur dan tertata rapi.[4]
Apabila dikaitkan antara Stufenbau Theory dengan pengaturan barang dan jasa di lingkungan BUMN adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN. Rumusan permasalahan yang dapat ditarik adalah :  Bagaimana pengaturan pengadaan barang dan jasa di lingkungan BUMN apabila dikaitkan dengan Stufenbau Theory – Hans Kelsen?

B.  Stufenbau Theory – Hans Kelsen

Sebelum menjawab permasalahan di atas, ada baiknya untuk melihat terlebih dahulu mengenai Stufenbau Theory. Hans Kelsen mengembangkan sebuah Teori Hukum Murni (General Theory of Law and State). Aliran Teori Hukum Murni merupakan suatu pengembangan dari teori mazhab positivisme, yang menitikberatkan pada inti ajarannya mengenai hukum dapat dibuat dari undang-undang. Menurut W. Friedman, inti ajaran Teori Hukum Murni adalah[5] :
1.      “Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan;
2.      Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya;
3.      Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam;
4.      Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum;
5.      Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus;
6.      Hubungan antara teori hukum dan sistem yang kas dari hukum positif adalah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata”. 

Selain ajaran Teori Hukum Murni, Hans Kelsen mengemukakan Teori Hierarki Norma Hukum (Stufenbau Theory – Stufenbau des Recht). Ajaran Stufenbau berpendapat bahwa sistem hukum itu merupakan suatu hierarki dari hukum. Pada hierarki itu, suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi dan ketentuan yang tertinggi ini adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah merupakan konkretisasi dari ketentuan yang lebih tinggi.[6]
Stufenbau adalah mengenai keberlakuan kaidah hukum. Keberadaan kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah yang lebih tinggi dengan demikian kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm.[7] Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenbauder rechtsfordnung. Susunan norma menurut teori tersebut, antara lain[8] :
1.      “Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);
2.      Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3.      Undang-Undang formal (formell gesetz); dan
4.      Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung)”.

Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam bahasa Arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan atau aturan dalam bahasa Indonesia. Suatu norma itu, baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral, adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh sistem hukum mempunyai suatu struktur piramidal, mulai dari yang abstrak (ideologi negara dan undang-undang dasar) sampai yang konkret (peraturan-peraturan yang berlaku).[9]

C. Pengaturan Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan BUMN Apabila Dikaitkan Dengan Stufenbau Theory – Hans Kelsen

Sejak awal para pendiri bangsa (founding fathers) telah menyadari bahwa Indonesia sebagai suatu kolektivitas politik tidak memiliki modal yang cukup untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, sehingga Negara yakni Pemerintah mengambil peranan yang cukup penting dalam kegiatan ekonomi.[10] Hal ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 33 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi sebagai berikut :
(2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dalam kaitannya di atas, dirasa perlu untuk meningkatkan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui regulasi sektoral maupun kepemilikan Negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, selama Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia masih tercantum dalam konstitusi maka selama itu pula keterlibatan pemerintah dalam perekonomian Indonesia masih diperlukan.[11] Dalam hal penyertaan modal yang dilakukan pemerintah juga berpijak dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ini.
Selanjutnya, diatur lagi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, bahwa : “Presiden mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”, dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa : “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Berdasarkan kedua pasal yang disebutkan tadi, maka diundangkanlah Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai landasan berpijak dalam melaksanakan pengadaan barang dan jasa. Tetapi untuk BUMN, tidak tunduk kepada Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tersebut melainkan kepada Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara.
Pasal 99, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa :
(1)   “Pengadaan barang dan jasa oleh BUMN yang menggunakan dana langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
(2)   Direksi BUMN menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa bagi BUMN yang bersangkutan, selain pengadaan barnag dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pedoman umum yang ditetapkan oleh Menteri;
(3)   Pedoman umum dan tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi dan transparansi”.

Atas dasar perintah melalui Pasal 99 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara dikeluarkanlah Peraturan Menteri BUMN No PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara. Selanjutnya melalui Pasal 5 Peraturan Menteri BUMN No PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara yang memerintahkan Direksi BUMN untuk mengeluarkan pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa di lingkungannya maka setiap Direksi BUMN dapat mengeluarkan pengaturan untuk itu. Contohnya pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa dikeluarkan melalui Surat Keputusan Direksi PTPN. III No. 3.12/SKPTS/09/2012 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Edisi VI – 2012.
Banyak sekali pengaturan mengenai BUMN dan pengelolaannya. Untuk tidak membingungkan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan tentang pengadaan barang dan jasa pada BUMN dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan tentang Pengadaan Barang dan Jasa BUMN di PTPN III
Sumber : Data Primer yang diolah.

Dari gambar di atas, dapat dilihat menggunakan Stufenbau Theory yaitu ada ikatan azas-azas hukum, hukum menjadi suatu sistem, ilmu hukum memenuhi syarat sebagai ilmu dengan objek yang bisa ditelaah secara empiris dengan analisa data yang logis dan rasional.[12] Contoh objek studi adalah PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), jadi peraturan perundang-undangannya juga yang berkaitan dengan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero).
Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenjang-jenjang tersebut dapat dilihat, sebagai berikut[13] :
a.       UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.      Peraturan Pemerintah;
e.       Peraturan Presiden;
f.       Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Pancasila adalah sebagai Norma Dasar (grundnorm) dalam Teori Stufenbau, memperlihatkan bahwa seluruh sistem hukum mempunyai suatu struktur piramidal, mulai dari yang abstrak (ideologi negara dan undang-undang dasar) sampai yang konkret (peraturan-peraturan yang berlaku).[14] Dalam hal kedudukan Surat Keputusan Direksi PTPN. III No. 3.12/SKPTS/09/2012 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Edisi VI – 2012 disini adalah sebagai hasil dari perintah Pasal 5 Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa :  
(1)   “Cara Pengadaan Barang dan Jasa disesuaikan dengan kebutuhan Pengguna Barang dan Jasa serta dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip umum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan best practice yang berlaku;
(2)   Cara Pengadaan Barang dan Jasa dapat dilakukan dengan cara antara lain tetapi tidak terbatas pada :
a.       Pelelangan terbuka, atau seleksi terbuka untuk jasa konsultan, yaitu diumumkan secara luas melalui media massa guna memberi kesempatan kepada Penyedia Barang dan Jasa yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pelelangan;
b.      Pemilihan langsung, atau seleksi langsung untuk pengadaan jasa konsultan, yaitu pengadaan barang dan jasa yang ditawarkan kepada beberapa pihak terbatas sekurang-kurangnya 2 (dua) penawaran;
c.       Penunjukan langsung, yaitu pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara langsung dengan menunjuk satu penyedia barang dan jasa atau melalui beauty contest;
d.      Pembelian langsung, yaitu pembelian terhadap barang yang terdapat di pasar, dengan demikian nilainya berdasarkan harga pasar.
(3)   Tata cara Pengadaan Barang dan Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Direksi BUMN”.

Sedangkan Peraturan Menteri BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara adalah hasil dari perintah Pasal 99 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa :
(1)   Pengadaan barang dan jasa oleh BUMN yang menggunakan dana langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
(2)   Direksi BUMN menetapkan tata cara pengadaan barang dan jasa bagi BUMN yang bersangkutan, selain pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pedoman umum yang ditetapkan oleh Menteri;
(3)   Pedoman umum dan tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi dan transparansi”.

Selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara adalah hasil perintah dari Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa : “Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

D. Penutup

Apabila suatu pengaturan sudah diuji berdasarkan Stufenbau Theory dan memiliki tingkatan yang baik, maka sudah dapat dipastikan pengaturan tersebut mengikat secara hukum. Tingkatan yang baik artinya : tiap-tiap norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm); Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz); Undang-Undang formal (formell gesetz); dan Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung) terisi dengan peraturan yang ada dan memerintahkan untuk diatur oleh pengaturan yang ada di atasnya. Selain itu juga, apabila suatu peraturan perundang-undangan ditetapkan oleh Menteri maka sudah dapat dipastikan peraturan tersebut mengikat sepanjang berdasarkan kewenangannya, dapat dilihat Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menteri BUMN mengatur BUMN karena merupakan kewenangannya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Zainuddin., Filsafat Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.

Butar-Butar, Marisi., Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Khususnya Prinsip Keterbukaan Dalam Proses Pengadaan Barang dan/atau Jasa di Lingkungan BUMN Perkebunan : Studi Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), Medan : Media Mandiri, 2012.

Darmodiharjo, Darji., dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Fratiwi, Sumi., “Aspek Hukum Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara”, Medan : Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010.

Huijbers, Theo., Filsafat Hukum, Yogjakarta : Kanisius, 1995.

Purbacaraka, Purnadi., dan M. Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan Keempat, Bandung : Citya Aditya Bakti, 1990.

Soeprapto, Maria Farida Indrati., dan A. Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta : Kanisius, 1998.

Suhardi, Gunarto., Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, Yogjakarta : Kanisius, 2009.

Peraturan Terkait
Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Praktek Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Badan Usaha Milik Negara.

Surat Keputusan Direksi PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) No. 3.12/SKPTS/092012 tanggal 07 Juni 2012.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.




[1] Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
[2] Pasal 2 angka 1, Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menyebutkan bahwa : “Ruang lingkup Peraturan Presiden ini meliputi : a) Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya (K/L/D/I) yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD; b) Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD”.
[3] Herman Hidayat dan Harry Z. Soeratin, dalam Marisi Butar-Butar, Penerapan Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Khususnya Prinsip Keterbukaan Dalam Proses Pengadaan Barang dan/atau Jasa di Lingkungan BUMN Perkebunan : Studi Pada PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), (Medan : Media Mandiri, 2012), hal. 14.
[4] Gunarto Suhardi, Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum, (Yogjakarta : Kanisius, 2009), hal. 14.
[5] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 57-58.
[6] Maria Farida Indrati Soeprapto dan A. Hamid S. Attamimi, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta : Kanisius, 1998), hal. 39.
[7] Purnadi Purbacaraka dan M. Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan Keempat, (Bandung : Citya Aditya Bakti, 1990), hal. 58-71.
[8] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 223.
[9] Stufenbau Theory dikembangkan oleh beberapa pemikir, antara lain : Merkl, Kelsen, Hart. Pada intinya teori ini dimaksudkan untuk menyusun suatu hierarki norma-norma, sehingga berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Teori ini memang diterima juga di Indonesia, dokumen yang bersejarah tentang hal ini adalah Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang berjudul : Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata urutan (susunan) perundang-undangan Republik Indonesia. Sumber : Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogjakarta : Kanisius, 1995), hal. 44.
[10] Sumi Fratiwi, “Aspek Hukum Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara”, (Medan : Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 18.
[11] Ibid.
[12] Teori Stufenbau dikembangkan oleh beberapa pemikir, yaitu : Merkl, Kelsen, hart. Pada intinya teori ini dimaksudkan untuk menyusun suatu hierarki norma-norma, sehingga berlapis-lapis dan berjenjang. Sumber : Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogjakarta : Kanisius, 1995), hal. 44., Lihat juga : Hans Kelsen, Op.cit.
[13] Pasal 7 ayat (1), Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
[14] Theo Huijbers, Loc.cit.